Tokoh Pemasang Anjir Yogya - Surakarta Demang R Mangunwedana Nglipar -->

About Us

Navigation List

Berita Pilihan

berita POPULER+

Iklan Kiri

Berita Utama

Tokoh Pemasang Anjir Yogya - Surakarta Demang R Mangunwedana Nglipar

Rabu, 23 Agustus 2017, Agustus 23, 2017

Tokoh Pemasang Anjir Yogya - Surakarta Demang R Mangunwedana Nglipar 


Makam  Tokoh Pemasang Anjir Yogya - Surakarta Demang R Mangunwedana Nglipar 
Dulu Kerajaan Mataram masih satu, belum ada Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Tapi sesudah Perjanjian Giyanti, kerajaan dipecah menjadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Perpecahan ini sempat membikin konflik sehingga terjadi perang dalam rangka perebutan batas kawasan. Kisah momen perebutan batas kawasan hal yang demikian juga terjadi di kawasan Gunungsewu (Gunungkidul) komponen utara. Tokoh dalam sejarah perebutan batas kawasan Yogyakarta-Surakarta ini tidak banyak diketahui. Dialah Demang Nglipar R Mangunwedana.

Darsono, warga Desa Nglipar, buyut Demang Mangunwedana memaparkan kisah pengorbanan kakek buyutnya dalam mencontoh apa yang disebut Sayembara atau Pasanggiri yang diadakan oleh raja Kasultanan Yogyakarta pada waktu itu. Sayembara berupa pemasangan patok atau anjir yang menjadi petunjuk batas teritorial antara Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, kawasan Kerajaan Mataram secara regulasi telah selesai dibagi menjadi dua, adalah teritori Yogyakarta dan teritori Surakarta. Tapi, ketika itu belum ada kejelasan mengenai spot atau lokasi batas-batas secara geografis. Pun penentuan tapal batas hal yang demikian tak gampang dan mengalami bermacam-macam hambatan.


Keraton Yogyakarta


Pada ketika itu, kawasan yang masih mengalami konflik antara lain merupakan perbatasan mulai dari tempat Prambanan ke timur hingga tempat Tegalrejo, Watugajah, Candi Risan hingga tempat Semin. Berjenis-jenis rintangan yang ada membikin tak gampang dan tak tuntas untuk mempertimbangkan tapal batas kedua kerajaan baru yang asalnya masih bersaudara kandung ini.

“Lebih-lebih untuk memasang patok atau pada waktu itu disebut anjir yang permanen. Pada waktu itu, rakyat perbatasan silih berganti memasang patok. Pagi dipasang, petang sirna. Petang dipasang malam sirna. Warga perbatasan utara ataupun selatan saling menyalahkan tidak henti-henti.

Kawasan sepanjang lahan perbatasan waktu itu tak aman. Kegaduhan di tingkat rakyat terjadi bermigrasi-pindah untuk memperebutkan batas. Pertengkaran secara berkelompok atau pertengkaran massal yang melibatkan prajurit Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta tak jarang terjadi. Untuk memecahkan keonaran hal yang demikian, Raja Kasultanan Yogyakarta mengadakan sayembara atau pasanggiri, yang berisi: terhadap segala kawula Mataram terpenting tempat Gunungsewu (Gunungkidul), siapa saja yang bisa menenteramkan tempat perbatasan dan memutuskan patok (anjir) batas antara tempat Yogyakarta dan tempat Surakarta akan memperoleh penghargaan dari Keraton Mataram (Yogyakarta) Hadiningrat.

Pada waktu itu, kawasan Gunungsewu (Gunungkidul) belum ada bupati. Dia ada sebagian pimpinan kawasan dengan sebutan Kepanjen, Kademangan, Bekel Tua, Bekel, dan pemuka masyarakat lainnya. Pemerintahan cara kerajaan masih berjalan, dimana penghasilan panji/demang/bekel berasal dari hasil pertanian masyarakat (asok glondong atau pengareng-areng) umum disebut bulu bekti dari masyarakat yang dikendalikan oleh sesepuh masyarakat yang berdampak atau berwibawa.
Perang Perebutan Batas untuk Pemasangan Anjir Yogyakarta – Surakarta

Dikisahkan, pemuda dari Wiladeg bernama R Mangunwedana menjabat Bekel melanjutkan tugas dari mertuanya Bekel Wiryadipa Munggi yang sudah stop atau lereh. Pada waktu itu di Munggi senantiasa ada gangguan keamanan, berkat kepemimpinan R Mangunwedana, situasi keamanan berangsur membaik, sampai segala kawasan Munggi aman tentram. Keberhasilan itu membikin pemerintahan Kepanjen memanggil R Mangunwedana dengan tujuan mengangkatnya menjadi demang di kawasan utara berkedudukan di Nglipar. Yang ini sebab kawasan perbatasan utara masih belum aman. Dia memperoleh tugas menjaga Kademangan Nglipar dengan kawasan Karang Tengah, Ngalang, Patuk, Dungkeris, Pengkol, Kedungpoh ke timur hingga perbatasan Ngawen-Semin.

Untuk mengerjakan tugas berat hal yang demikian, sewaktu permulaan menjabat Demang di Nglipar, dia mencari wisik atau bersemedi dengan metode matiraga tapa mendhem selama 1 tahun. Yang hal yang demikian bertujuan untuk memohon daya dan tanda terhadap Kuasa Dia Beberapa Sesampainya supaya bisa melakukan tugas dengan bagus. Bertapa selama satu tahun sukses dilakukan, dia segera kembali bertugas sebagai demang. Dia perbatasan Yogyakarta – Surakarta waktu itu kian tak aman, tiap-tiap ketika terjadi perselisihan perebutan batas. Dengan adanya sayembara dari Keraton Yogyakarta, Mangunwedana secara membisu-membisu mempersiapkan diri untuk mencontoh sayembara pasang anjir.

“Menurut hal yang dicapai Mangunwedana antara lain; dia melaksanakan perjalanan untuk mengatahui seluk-beluk perbatasan dari Prambanan sampai Candi Risan Semin. Dari kediamannya di Trukan Nglipar, dia mengawali dengan menuju ke arah barat,” jelas lelaki eks tentara relawan Dwikora ini.

Dari Nglipar atau waktu itu disebut Kajardimora, Mangunwedana pergi ke barat via Ngalang lalu ke utara menuju ke Gedangan Hargamulya. Disebutkan di Candi Gedangan, Mangunwedana beristirahat. Dia mampir di kios penjual dawet. Berdasarkan cerita, penjual dawet yaitu seorang perempuan yang berparas yang indah. Ketika kemudian keduanya saling terpesona dan terlibat dalam percakapan serius.

Sesudah waktu beranjak sore, Demang Mangunwedana menginap di rumah perangkat desa setempat. Kebetulan dia merupakan orang tua dari gadis penjual dawet itu. Setelah makan malam, selaku Demang Nglipar, Mangunwedana memperkenalkan maksud perjalanannya ke daerah hal yang demikian. Perbincangan berlangsung sampai larut malam. Di akhir diskusi, dia juga memperkenalkan niat melamar putri si tuan rumah. Dia itu juga lamaran bisa diterima.

Berdasar cerita, Demang Mangunwedana menikahi penjual dawet yang kemudian diketahui dengan nama Nyi Mangun Wedana II, putri perangkat Desa Gedangan Hargamulya Nglipar. Perempuan buah hati perangkat Desa Gedangan ini yang kemudian disebut Eyang Candi. Sebelumnya menikahi Nyi Mangun Wedana II, Demang Mangunwedana sudah mempunyai istri yang yaitu putri Bekel Wiradipa Munggi, yang disebut Nyi Mangunwedana I. Dituturkan kemudian, perangkat Desa Gedangan Hargamulya yang kemudian menjadi mertua Demang Mangunwedana bersedia menolong secara moril dan materiil apa yang menjadi niat menantunya. Yang ini membikin Demang Mangunwedana menjadi kian mantap dan giat dalam mencontoh pasanggiri atau sayembara dari raja Yogyakarta.

Kecuali selesai melaksanakan peninjauan perbatasan dari kawasan barat sampai timur, Demang Mangunwedono kembali ke Candi Gedangan untuk memperkenalkan siasat dan taktik yang akan dicapai sekalian berpamitan terhadap istrinya. Tugas cukup berat tak mungkin selesai dalam sehari dua hari, malahan dapat hingga hitungan bulan. Yang ini sebab situasi medan dan jalan antar desa di kawasan hal yang demikian belum semudah seperti kini. Daripada dan situasi jalan masih didominasi  jalan setapak di tepi terasiring dan perbukitan.

Mangunwedana segera menuju kediamannya di Trukan atau Kajardimora Nglipar. Dia mengumpulkan segala perangkat kademangan, penasehat, pendherek, asisten dan orang-orang opsi untuk berembuk supaya pengerjaan sayembara terlaksana dengan bagus tak banyak memunculkan korban terpenting kawula Gunungsewu (Gunungkidul).

Menurut persiapan yang dilaksanakan di antaranya; memilih prajurit yang tangguh dan sakti, menyusun prajurit telik sandi. Di samping menggunakan baju kaprajuritan, ada yang berpakaian teladan Surakarta, ada pula yang menggunakan baju gaya Mataram Yogya (surjan komplit). Kemudian juga mempertimbangkan isyarat atau sandi (kode) untuk mempertimbangkan kawan atau lawan.

Serta kemudian membawa persenjataan komplit seperti keris, tombak, cundrik, pedang, klewang, bedil, bandil, tulup, gembel, bindi, panah, perisai, umbul-umbul aji jimat, klambi gondil serta mantra kusuma dan lain-lain. Yang itu tak lupa menyiapkan patok atau anjir berupa kayu randu yang gampang hidup untuk ditanam. Persiapan yang dilaksanakan juga termasuk konsumsi (logistik) dikala berada di Gedangan, Ngawen, atau di kawasan perbatasan lainnya.

Masih dituturkan Darsono, sesudah segala bekal siap, Demang Mangunwedana beserta para pengikutnya berangkat ke tempat perbatasan siap menghadapi musuh. Oleh sebab satu sama lain telah saling intai dan saling ejek, pasukan dari kubu Surakarta juga telah siap berperang ditandai dengan memasang umbul-umbul, karenanya terjadilah pertempuran itu. Yang pengaplikasian senjata jarak jauh sampai kemudian senjata jarak dekat digunakan. Pasukan  garis depan Demang Mangunwedono terpukul mundur sebab keok dari sisi jumlah. Yang jatuh korban, mereka mendekat ke daerah singgah Mangunwedana.

Yang situasi itu, Mangunwedono tanggap, dia segera maju ke depan bersama pengawalnya. Dia mengaplikasikan payung seret dan mengendalikan tombak menghadap ke arah musuh, berdiri tegak mantak aji sambil bermeditasi memohon terhadap Kuasa Dia Beberapa Sesampainya. Mangunwedana mengaplikasikan daya batin aji penggendaman. Serta merta terjadilah mendung gelap disertai angin pesat, hujan badai disertai petir terjadi menghempas musuh, segera pihak lawan lari tunggang langgang meninggalkan ajang pertempuran sebab ketakutan dan kedinginan. Kecuali musuh pergi, Demang Mangunwedono mengakhiri semedinya. Prajuri dan pengikutnya tertegun memperhatikan momen hal yang demikian. Mereka mengaku memperhatikan bahwa tombak yang dibawa demang berubah menjadi cahaya api besar seram, dihiasi janur kuning, seakan-akan seperti ular weling mencari mangsa.

Kecuali musuh pergi perang selesai, tak ada korban jiwa satu malahan. Sebenarnya dimulailah pemasangan anjir. Penancapan patok atau penanaman anjir pertama dilaksanakan oleh Demang Mangunwedana. Kecuali menanam, dia minta untuk dicabut. Seketika tak bisa dicabut, hal hal yang demikian membuktikan letak patok telah benar. Seketika salah, karenanya akan tercabut, sehingga patok atau anjir hal yang demikian perlu dipindah.

Penanaman patok dilaksanakan dari sebelah barat ke timur yang ditiru oleh segala masyarakat dan prajurit, termasuk prajurit telik sandi yang menggunakan baju gaya Surakarta. Kecuali hingga di tempat Candi Risan mereka membikin tugu. Pada siang itu cuaca sedang terik (Jawa: bedhug), karenanya beristirahatlah mereka di bawah pohon jati, sehingga demang memberikan nama kawasan itu dengan sebutan Jati Bedhug.

Panggilan Menghadap Raja Mataram

Atas keberhasilannya, Demang Mangunwedana dipinta menghadap Raja Kasultanan Yogyakarta. Atas jasanya, Mangunwedana memperoleh penghargaan dari raja. Darsono menceritakan, penghargaan dari raja ada tiga hal, melainkan cuma dua saja yang diterimanya.

“Dia dari kedudukan demang hendak diangkat menjadi Bupati Gunungsewu (Gunungkidul), namun ditolak sebab eyang demang mengaku dan menyadari bahwa dirinya buta huruf sehingga tak layak. Dia cuma  mengajukan permohonan, bahwa kelak suatu ketika nanti buah hati turunnya saja yang menjadi bupati Gunungkidul,” jelas Darsono. Permintaan hal yang demikian disanggupi oleh Raja Kasultanan Yogyakarta waktu itu. Dua penghargaan lain yang diterima adalah putri triman atau hadiah istri dari dalam keraton. Sebenarnya diterima pula payung seret dan kasrempang kuning kademangan.

Yang senada juga disajikan Bambang Setiawan BS, warga desa Kepek yang ketika ini menjabat Kades Kepek Wonosari yang masih mempunyai garis keturunan Mangunwedana. Sebagai canggah, dia pernah mendengar dari kakek-kakeknya, bahwa alasan penolakan tidaklah semata sebab tak dapat baca tulis, namun dipahami dan mengandung pesan bahwa Mangunwedana berjuang tanpa pamrih, berjiwa besar, serta tak haus kekuasaan untuk menjadi penguasa dalam lingkup lebih besar.

“Dikisahkan dalam sebuah perbincangan antara Demang Mangunwedana dengan buah hati cucu di suatu petang, bahwa Eyang Demang merasa tak layak kalau jabatan dari seorang demang lantas naik menjadi bupati,” tambah Bambang.

Sementara itu, untuk menjaga keamanan dan stabilitas tempat Gunungsewu atau Gunungkidul, putra keturunan dari Demang Mangunwedana diangkat menjadi punggawa atau perangkat atau perabot di sebagian kawasan. Di antaranya; R Mertarangga sebagai Demang Ngalang berada di sebelah barat menjaga tempat Patuk, Serut, Ngara-ara dan sekitarnya, R Sasrawana mengamankan sebelah utara adalah Tegal dan Watu Gajah ke timur menjadi Demang Candi Risan perbatasan Semin, R Manguntirta I Bekel Sepuh mengantar R Mangunwedana di Kademangan Nglipar komponen tengah.

Lalu R Santadiwirya di Remang Jomblang Karangasem Bedoyo, untuk menjaga perbatasan tempat Wuryantoro, Eromoko dan Pracimantoro, R Wiryasacaka berada di sebelah barat kekuatan menjadi Demang Wiyoko. R Mangun Setika sebagai Demang Grogol tempat Kulwa, Wiladeg dan sekitarnya. Lalu adik kandungnya R Harja Setama sebagai Demang Bolo dan sekitarnya.

Darsono menyebutkan, pemerintahan kademangan usai tahun 1908, namun dalam progresnya hingga pada tahun 1912. Setelah itu diganti dengan pemerintahan lurah. Adapun Lurah Nglipar pertama R Manguntirta II, buah hati Mangun Tirta I (1908-1947), dia dipandu R Mangunmenggala. Lurah Nglipar II Radya Sastrawiyana putra R Menggala. Sebenarnya Lurah Nglipar III Purwanto dari Ngaliyan.

Sebagai komplemen kisah pengorbanan Demang Mangunwedana di atas, berikut silsilah yang dibentuk oleh Trah keluarga Demang Mangunwedana. Eyang Demang R Mangunwedana lahir pada tahun 1777 lalu wafat pada tahun 1915, mempunyai umur 138 tahun. Dia memiliki 3 istri, yakni:

Mangunwedana I, putri Bekel Wirodipo Munggi, mempunyai buah hati 6.
Mangunwedono II, putri perangkat Desa Gedangan Hargomulyo Nglipar, disebut Eyang Candi, mempunyai buah hati 5.
Mangunwedana III, keturunan BRA Setikatmaja, triman dari Kraton Yogyakarta memiliki putra 7.
Urutan kelahiran putra-putri dari ketiga istrinya sebagai berikut;

Ki Mangun Suwarna (Munggi) dari Istri Ke I
Nyi Mertanangga (Ngalang) dari Istri Ke I
Ki Santa Diwirya (Nglipar) dari Istri Ke I
Nyi Wangsawedana (Nglipar) dari Istri Ke I
Ki Wirabangsa (Munggi) dari Istri Ke I
Ki Sasrawana (Nglipar) dari Istri Ke I
Ki Mangunsetika (Grogol) dari istri ke III
Ki Mangundirya (Nglipar) dari istri ke II
Ki Manguntirta I (Nglipar) dari istri ke II
Nyi Kertawedana (Nglipar) dari istri ke III
Ki Natareja (Grogol, Karangmojo) dari istri ke III
Ki Jayalesana (Wiladeg) dari istri ke III
Nyi Wirya Sacaka (Wiyoko) dari istri ke III
Ki Mangun Menggala (Nglipar) dari istri ke II
Nyi Abdul Kadir (Kajar) dari istri ke II
Nyi Mangundimeja (Grogol, Paliyan) dari istri ke III
Nyi Kramadimeja (Karangmojo, Paliyan) dari istri ke II
Nyi Wanabaya (Katongan, Nglipar) dari istri ke III.

Definition List

TerPopuler